Selasa, 01 Oktober 2019

Pembaruan Pemikiran Modern Dunia Islam


Imperialisme dan Kemunduran Politik Ummat Islam

Imperialisme modern dengan segala motivasi yang terkandung di dalamnya telah berhasil memecah belah kaum muslimin dan menguasai dunia Islam.Menyepakati pembagian penjajahan atas dunia Islam. Inggris menjajah India, Mesir, Irak dan Yordania. Prancis menjajah Suriah dan Libanon. Di Afrika, Prancis dan Inggris mendapat wilayah jajahan yang sangat luas. Di Asia Tenggara Inggris menjajah Malaysia dan Singapura. Belanda menjajah Indonesia. Sebagaimana Muhammad Sayyid Al Wakil menyebutkan beberapa motif dan tujuan imperialisme modern, yaitu:
  1. Menaklukkan Islam yang merupakan kekuatan penyeru pembebasan dan melawan musuh.
  2. Menghancurkan khilafah yang merupakan simbol tempat ummat Islam bersatu membela Islam.
  3. Membuka lahan baru untuk memasarkan hasil Industri yang meledak pasca kebangkitan Industri.
  4. Memperluas jangkauan negara imperialis.
  5. Mengambil aset negara jajahan.
  6. Memanfaatkan potensi rakyat negara jajahan untuk kepentingan negara-negara Imperialis. 
Pergeseran besar dalam bidang politik yang terjadi akibat kemunduran peradaban Islam mengakibatkan pola hubungan Islam dan Barat menjadi terbalik. Dikalahkannya Turki pada Perang Dunia I (1915) dan penyerbuan sekutu atas Turki hingga 1919 M menyebabkan Turki benar-benar mengalami kehancuran sehingga kekhalifahan Turki pada tahun 1924 dihapuskan. Hal ini berdampak semua derah kekuasaannya yang luas baik di Asia maupun Afrika diambil alih negara-negara Eropa yang menang perang, dalam Konferensi San Remo di Prancis. Sehingga menyebabkan stabilitas wilayah dan politik imperium ini berangsur lumpuh.

Pembaharuan yang berkembang secara progressif kepada hampir semua bidang kehidupan mulai masa Sultan Mahmud II (1809-1839) dengan modernisasi militer yang disertai ikhtiar pemerintah untuk memodernisasi administrasi, hukum, pendidikan dan ekonomi  tidak dapat menghentikan penguasaan Barat atas kerajaan ini.

Namun demikian,  gerakan pembaruan pemikiran di dunia Islam terus berlanjut dan terjadi secara massif dengan munculnya banyak tokoh-tokoh Muslim ataupun organisasi terkemuka di berbagai negara, seperti Mesir, Turki Iran, Pakistan (India), dan Indonesia. Gagasan pembaruan tersebut dimunculkan melalui istilah dan aksentuasi yang berbeda, antara lain tajdid (modernisme)dengan cakupan makna renewal, pembaruan dan ishlah (reform, reformasi).Begitu pula dengan yang bertendensi puritanistik (fundamentalisme) dari segi ajaran dengan cakupan makna yang bermacam-macam, seperti revivalism, militancy, activism, reconstrutionism, dll.


Janji Kebangkitan dalam Teks-teks Suci

Allah Subahanahu wa ta’ala berfirman,

وعد الله الذين آمنوا منكم وعملوا الصالحات ليستخلفنهم في الأرض كما استخلف الذين من قبلهم وليمكنن لهم دينهم الذي ارتضى لهم وليبدلنهم من بعد خوفهم أمنا يعبدونني لا يشركون بي شيئا ومن كفر بعد ذلك فأولئك هم الفاسقون

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.(QS An Nur 55).

Demikian pula sebuah riwayat yang terkenal dari Abu Dawud, bahwasannya Rasulullah saw bersabda,

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْمَهْرِيُّ، أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي أَيُّوبَ، عَنْ شَرَاحِيلَ بْنِ يَزِيدَ الْمُعَافِرِيِّ، عَنْ أَبِي عَلْقَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، فِيمَا أَعْلَمُ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا» . قَالَ أَبُو دَاوُدَ: «رَوَاهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ شُرَيْحٍ الْإِسْكَنْدَرَانِيُّ، لَمْ يَجُزْ بِهِ شَرَاحِيلَ» 

Sulaiman bin Dawud Al-Mahri telah menyampaikan kepadaku, ia berkata: Ibnu Wahb telah menyampaikan kepadaku, ia berkata: Telah mengabarkan kepadaku Sa’id bin Abi Ayyub, dari Syarahil bin Yazid Al-Ma’afiri, dari Abu ‘Alqamah, dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau pernah bersabda: Sesungguhnya Allah membangkitkan pada tiap awal 100 tahun orang yang memperbaharui agamanya. (HR Abu Daud).

Hadits ini Diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud As-Sijistani rahimahullahu dalam Sunan-nya no 4270 dan no. 4291. Dikeluarkan pula oleh Al-Imam Abu ‘Amr Ad-Dani dalam As-Sunan Al-Waridah fil Fitan no. 364, Al-Imam Al-Hakim dalam Mustadrak-nya, 4/522, dan selain mereka seperti Al-Imam Al-Baihaqi dalam Ma’rifatus Sunan wal Atsar hal 52, Al-Khathib Al Baghdadi dalam tarikh Baghdad Juz II hal 61, dan Al-Harawi.

Sanad hadits ini shahih dan rijal (para perawi)nya tsiqah, yaitu Muslim, sehingga dishahihkan oleh lebih dari seorang ulama hadits. Imam Suyuthi menyebutkan keshahihannya dalam Jami’us Shaghir, dan diakui pula oleh Imam Manawi (pensyarahnya). Imam Suyuthi menyebutkan bahwa Imam Hakim, Imam Zaynudin Al Iraqi dan lainnya juga menshshihkannya.

Asy-Syaikh Al-’Allamah Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu menshahihkan hadits ini dalam Shahih Abi Dawud, Ash-Shahihah no. 599, dan Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 1874. Beliau berkata: “Sanad hadits ini shahih, para perawinya tsiqah (terpercaya), merupakan perawi yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullahu (dalam Shahih-nya).”
Keniscayaan Pembaruan Pemikiran Islam

Motivasi untuk selalu mengulang tema ini adalah kesadaran bahwa runtuhnya peradaban kaum muslimin adaah akibat dari kejumudan, dalam pemikiran dan pengembangan ajaran-ajaran Islam. Di sisi lain, jalan pembaruan bukanlah sebuah pilihan yang mudah dalam tubuh ummat. Sejarah berulangkali membuktikan, ketika sebagian ummat mengembangkan pembaruan, maka sebagian yang lain akan mengadakan reaksi terhadapnya.  Tentu kita tidak akan pernah lupa dengan Jalaludin Afghani dan Muhammad Abduh yang berulang kali ditolak masyarakatnya sendiri. Juga Ikhwanul Muslimun yang menjadi “musuh bersama” bangsa-bangsa didunia.

Maka pertanyaan-pertanyaan berikut ini akan mengikuti fenomena yang dijelaskan. Siapakah gerangan mujaddid? Kapan ia muncul? Masalah apa yang ditajdid? Apa makna tajdid? Aspek apa yang ditajdid?

Dalam sejarah ummat, mayoritas Ulama memahami kata man tersebut dalam bentuk mufrad (tunggal) sehingga mereka menganggap mujaddid hanya satu orang untuk setiap abad. Itulah sebabnya mereka menyebutkan para mujaddid sebagai berikut:
  1. Khalifah Umar bin Abdul Aziz (wafat 101H)
  2. Muhammad bin Idris Syafi’i (wafat 204H)
  3. Mulai terjadi keragaman pada abad ketiga yaitu Abul Hasan Al Asy’ari (wafat324H), Abul Abbas bin Suraij (wafat 303H) dan Imam Nasa’i (wafat 303H)
  4. Qadhi Abu Bakar Al Baqilani (wafat 403H) dan Abu Hamid Asfirayani (wafat 406H)
  5. Abu Hamid Al Ghazali (wafat 505H)
  6. Fakhrurazi (wafat 606 H) ada yang menyebutkan bukan dia tetapi Imam Rafi’i (wafat 623H)
  7. Ibnu Daqieg Al ‘Ied (wafat 703 H)
  8. Al Hafiz Zaynudin Iraqi (wafat 808 H) atau Sirajuddin Bulqini (wafat 805 H) 

Pada daftar di atas, terlihat bahwa kaum muslimin hanya bersepakat pada abad pertama, kedua dan ketujuh. Sisanya terjadi perbedaan (pertentangan?) pendapat. Bahkan Imam Suyuthi (wafat 911 H) yang menyebutkan nama-nama mereka itu dalam syairnya dan bermaksud memasukkan namanya dalam daftar untuk abad kesembilan, ditentang oleh orang sezamannya. Sampai hari ini, kaum muslimin belum lagi mendapatkan kelanjutan dari daftar nama yang sudah pernah dibuat itu.

Al Hafiz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menyebutkan apa yang diingatkan oleh sebagian ulama bahwa tidak harus satu orang mujaddid untuk setiap kurun, bahkan bisa saja seperti yang disebutkan oleh Imam Nawawi tentang hadits,

لاَ يَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ على الحق، حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ ظَاهِرُونَ 
akan senantiasa ada sekelompok dari ummatku orang-orang yang menyiarkan kebenaran sampai datang keputusan Allah dan mereka itulah orang-orang yang menang...”

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu berpendapat:

“Pemahaman yang menyatakan bahwa jumlah mujaddid di setiap kurun itu bisa berbilang, lebih dari satu, memiliki sisi kebenaran.Karena terkumpulnya sifat-sifat yang dibutuhkan untuk men-tajdid perkara agama ini tidak dapat dibatasi pada satu jenis kebaikan saja. Dan tidak mesti seluruh perangai kebaikan dapat terkumpul pada satu orang, kecuali bila orang itu semacam ‘Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullahu, karena beliau bangkit menegakkan perkara agama ini pada akhir seratus tahun yang pertama dalam keadaan beliau mempunyai seluruh sifat-sifat kebaikan dan terdepan dalam sifat-sifat tersebut. Karena itu, Al-Imam Ahmad rahimahullahu memutlakkan bahwa ahlul ilmi membawa hadits tersebut atas ‘Umar bin Abdil ‘Aziz  Adapun setelahnya adalah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu. Walaupun Al-Imam Asy-Syafi’i memiliki sifat-sifat yang bagus, namun beliau bukan orang yang menegakkan perkara jihad, dan bukan orang yang memegang kekuasaan yang dapat memerintah/menghukumi dengan adil.Berdasarkan hal ini, maka setiap alim yang memiliki salah satu sifat-sifat yang demikian di penghujung seratus tahun, maka dialah mujaddid yang diinginkan, baik jumlahnya berbilang atau hanya satu.”

Adapun mengenai munculnya mujaddid di setiap awal tiap seratus tahun,para ulama sepakat bahwa yang menjadi hitungan adalah tahun hijriyah meskipun berbeda pendapat tentang dimulainya perhitungan. Sebagian berpendapat dimulai sejak awal bi’tsah Nabi saw, atau sejak kelahirannya atau hijrahnya. Sementara itu, daftar di atas memuat nama para mujaddid dengan mencantumkan angka tahun wafat mereka pada awal kurun. Tidak ada nama Imam Ibnu Taymiyah karena beliau wafat pada tahun 728 H, padahal beliau telah melakukan tajdid yang luar biasa dalam lapangan fikrah islam dalam setiap aspeknya.

Sebagian ulama berpendapat, yang dimaukan dalam hadits ini adalah akhir dari seratus tahun, bukan awalnya. Dengan bukti dari Al-Imam Az-Zuhri dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal serta selain keduanya dari kalangan para imam yang terdahulu maupun yang belakangan rahimahumullah. Mereka sepakat bahwa mujaddid yang muncul pada akhir seratus tahun yang pertama adalah Amirul Mukminin ‘Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullahu.Seratus tahun yang kedua adalah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu. Sementara ‘Umar bin Abdil ‘Aziz wafat pada tahun 101 H dalam usia 40 tahun dan masa kekhilafahan beliau 2,5 tahun. Sedang Al-Imam Asy-Syafi’i wafat pada tahun 204 H dalam usia 54 tahun.

Tetapi Imam Al Munawi mengatakan, bahwa yang disebutkan dalam hadits adalah Allah mengutus seseorang di awal tahun. Mengutus berarti menyiapkannya untuk tampil membenahi ummat dan menyebarkan ajaranNya. Sedangkan kematian bukan dibangkitkan, melainkan diambil oleh Nya.
Memaknai Pembaruan Pemikiran

Yusuf Al Qaradhawy mendefinisikan, tajdid adalah upaya mengembalikan sesuatu kepada keadaan semula sehingga ia tampil seakan barang baru. Hal ini dengan cara memperkokoh bagian yang lemah, memperbaiki yang usang dan menambal yang retak sehingga kembali mendekati bentuknya semula.  Dengan kata lain tajdid bukan merombak bentuk awal atau menggantinya dengan yang baru.
Sementara itu, Mukti Ali mengartikan tajdid atau modernism sebagai paham yang bertujuan untuk memurnikan Islam dengan cara mengajak umat Islam untuk kembali kepada al Qur’an dan Sunnah dan mendorong kebebasan berfikir sepanjang tidak bertentangan dengan teks Al Qur’an dan Hadits yang shahih.

Cakupan makna dari definisi tersebut antara lain, purifikasi (pemurnian) agama, yaitu menghidupkan apa yang telah terkubur ataupun runtuh berupa pengamalan terhadap Al-Qur`an dan As-Sunnah. Ataupun menghidupkan hukum-hukum syariat yang telah runtuh dan bendera-bendera As-Sunnah yang telah hilang dan ilmu-ilmu agama yang dzahir maupun batin yang telah tersembunyi.Sekaligus mengembangkan kebebasan befikir, yaitu menafsirkan Islam melalui pendekatan rasional untuk menyesuaikannya dengan perkembangan zaman.

Dengan demikian, meski menganjurkan kebebasan, kreatifitas befikir untuk menafsirkan Islam, tajdid selalu mendasarkan usahanya kepada sifat-sifat dan prinsip-prinsip Islam yang fundamental, yaitu kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah. Suatu usaha untuk memurnikan pemahaman agama. Karena secara ideologis, kaum muslimin percaya bahwa Al Qur’an dan Sunnah Nabi saw, telah lengkap mengatur segala macam persoalan.

Oleh karena itu pembaruan agama dalam hadits Abu Dawud di atas mengandung dua pengertian. Yang pertama, manhaj Ilahi, yang dengannya Allah mengutus RasulNya. Suatu manhaj yang disebutkan oleh Ibnu Khaldun dengan suatu undang-undang Ilahi yang selaras dengan pilihan umat manusia demi mewujudkan kemaslahatan hidup duniawi dan ukhrawi mereka.  Dalam pengertian ini dien tidak dapat diperbaharui, karena didalamnya tidak ada tempat bagi akal, kecuali ketika akal digunakan untuk menghubungkan persoalan-persoalan detail dengan yang prinsip.
Yang kedua, dalam kaitannya dengan kondisi obyektif manusia baik fikrah, perasaan, amal, kepribadian maupun akhlaqnya. Maka agama dalam konteks ini bisa berubah, bertambah atau berkurang. Inilah yang dapat ditajdid.


Gerakan Pembaruan Islam, Kemerdekaan dan Modernisasi

Selama Abad ke-19 dan ke-20, modernisasi diperkenalkan kepada dunia Islam dalam bidang militer, birokrasi, politik, hukum dan pendidikan. Basis ideologi Islam yang tradisional dari negara dan masyarakat mengalami perubahannya secara progressif disebabkan benturan dengan konsep nasionalisme sekuler barat.

Dapat kita fahami bahwa krisis besar dalam sejarah dan identitas Islam yang dipercepat oleh kedatangan kolonialisme Eropa memunculkan kesadaran intelektual yang berakar pada sikap kembali kepada Islam. Hal ini juga membangkitkan semangat perlawanan anti kolonial.

Tidak dapat kita pungkiri bahwa gerakan kemerdekaan anti kolonial dan kemunculan nasionalisme merupakan dua arah politik utama yang predominated. Sehingga wajar jika nasionalisme dalam dunia Islam betul-betul berkembang.Kemunculan gerakan-gerakan kemerdekaan (islamis maupun nasionalis) organisasi, maupun partai menandai arah baru bagi kemungkinan yang lebih luas.

Namun demikian, pasca kemerdekaan pola pembangunan bangsa yang modern dalam dunia Islam memperlihatkan tiga orientasi yang umum mengenai pemerintahan dan wilayah-wilayah Muslim: Negara sekuler, Negara berasaskan Islam dan negara Muslim. Turki memilih jalan sekuler. Negara-negara seperti Saudi Arabia dan Pakistan secara rermi mengumumkan ciri Islam bagi negaranya dan mengutamakan pelaksanaan Hukum Islam.

Kebanyakan wilayah Muslim muncul sebagai negara Muslim.Dengan mengambil model barat untuk pengembangan politik, hukum dan sosial, tetapi juga mengakui konstitusional Islam.Bagi sebagiannya Islam diumumkan sebagai agama resmi dalam negara.Sebagian besar menetapkan kepala negara haruslah seorang Muslim.Negara-negara seumpama AlJazair, Mesir, Suriah, Iran, Yordan, Indonesia dan Malaysia merefleksikan hal tersebut.

Negara-negera kaum muslimin yang baru ini, pada konsepnya berbenturan dengan konsep ummah  yang merupakan nama atau sebutan bagi orang-orang penganut Islam pimpinan Nabi Muhammad saw. Gagasan Negara merdeka yang dibentuk berdasarkan batas-batas geografis, kriteria kesukuan, kesamaan bahasa, dan lain-lain membuat mereka gagal menjelaskan identitas mereka berdasarkan konsep di atas.Apalagi disadari adanya komunitas-komunitas non-muslim di antara mereka. Maka tak jarang ditemui, masing-masing Negara kaum muslimin itu saling bersaing dan berselisih, sambil tetap mengklaim bahwa mereka adalah ummah Nabi Muhammad yang (semestinya) satu.

Yang kedua, sebuah Negara Islam, menurut kebanyakan kaum muslimin adalah Negara yang diatur setidaknya dalam teori, oleh syari’at Islam.Dalam prakteknya, kebanyakan pemimpin yang baru muncul lebih memilih memberi kelonggaran bagi pelaksanaan syari’ah, sembari membentuk undang-undang yang sekiranya diterima oleh warga Negara.Sesuatu yang tidak disukai kalangan Ulama. Fenomena ini bahkan oleh para pembaru dipandang sebagai kesalahan dan pokok persoalan kekalahan-kekalahan politik bangsa-bangsa muslim sebelumnya.

Dalam sejarahnya, perjuangan yang sebenarnya bermaksud mereformasi tatanan-tatanan yang berlaku di masyarakat ini, sering muncul seperti pesan-pesan politis Islam untuk berkuasa dan membentuk undang-undang serta membangun suatu tatanan baru yang robbaniyah, berbeda dengan tatanan sebelumnya yang insani. Di banyak tempat di dunia Islam, gerakan-gerakan dakwah Islam modern muncul dengan ciri politik yang kental, menghendaki adanya suatu Negara untuk mewujudkan masyarakat yang adil, sejahtera dan kuat.

Disinilah makna aktivisme sebagai salah satu nilai fundamental dalam gerakan Tajdid Islamy menemukan perannya.Bagi Sayyid Quthb, untuk menjadi seorang muslim yang baik tidaklah cukup dengan mengerjakan sholat lima waktu, tapi juga mengimplikasikan tindakan politik, social, bahkan paramiliter yang diperlukan untuk mendirikan Negara Islam.


Pertanyaan sebenarnya; Di mana Posisi Kita?

Islam dalam tinjauan tajdid harus mengintervensi segala bidang kehidupan dalam masyarakatnya, dari cara pemerintahan, pendidikan, system hukum, hingga kebudayaan dan ekonomi. Ia diperjuangkan dalam lapangan-lapangan aspek kehidupan manusia sebagai suatu yang inheren dalam konsep Islam itu sejak semula. Maka membaca fenomena kemerdekaan bangsa-bangsa muslim tidak dapat mengabaikan organisasi-organisasi dakwah dan pergerakan islam modern di dalamnya.
Ikhwanul Muslimun yang islamis, adalah inisiator kemerdekaan Mesir. Dalam pasang surut hubungannya dengan pemerintah, sampai hari ini masih menawarkan alternatif-alternatif modernisasi berdasarkan Islam.Organisasi ini banyak disebut oleh peneliti timur maupun barat, banyak memainkan peranan penting di dalam dan di luar negeri. Meski lebih lokal Jami’at-i-Islami di Pakistan patut diperbincangkan mengingat ide-ide para pemimpinnya yang progressive, setidaknya secara teori.

Jika mundur sejenak, akan kita dapati Syarikat Islam yang progressif revolusioner, menuntut kemerdekaan dengan jalan damai dan kompromistis. Organisasi ini dapat dikatakan sebagai organisasi dakwah modern pertama di dunia. Muhammadiyah mengambil jalur pembaruan pendidikan dan Nahdhatul Ulama yang humanis, memperkuat tradisi keilmuan salafiyah.Sama-sama memperjuangkan kemerdekaan dan modernisasi, meski menempuh jalan berbeda.Demikian pula Jama’ah Tabligh yang inspiratif menghidupkan keutamaan dan kebiasaan-kebiasaan baik para salafussaleh dan Hizbut Tahrir yang fundamentalis menghendaki perubahan yang lebih radikal.
Hampir sama dengan situasi hubungan antar Negara-negara muslim, Kelompok-kelompok pergerakan inipun sering terlibat dalam persaingan dan perselisihan—setidaknya di bawah permukaan—sembari mengklaim citra keummatan Muhammad saw. Seolah membenarkan tesis Nurcholis Madjid di atas.

Menarik untuk menyimak temuan Godfrey H. Jansen (penulis buku Islam Militan), tentang tiga golongan pejuang muslim yang mempertahankan bangsanya dari keruntuhan sekaligus memperjuangkan kebangkitannya kembali. Yaitu; kaum ulama, kaum tarekat dan kaum reformis Islam. Dua yang pertama adalah golongan tradisionalis, dan yang terakhir adalah golongan modernis.  Ketiga golongan ini dengan caranya masing-masing telah memberi kontribusi bagi kebangkitan ummat di wilayah-wilayah dunia Islam.Maka nasihat Muhammad Rasyid Ridha adalah sangat berharga:

نتعاون فيما إتفقنا عليه ويعذر بعضنا بعضا فيما إختلفنا فيه 
"Kita saling membantu dalam masalah-masalah yang kita sepakati dan kita saling memberi ‘udzur pada masalah-masalah yang kita perselisihkan."

Pure Ideology (ideology murni) yang diserukan para pendiri dan pendahulu harus terus dilanjutkan oleh generasi penerusnya dalam bentuk practice ideology (ideology terapan). Dengan melihat potensi intelektual kaum muslimin di semua belahan dunia, hal seperti ini adalah realistis.

Qaradhawy berpandangan inilah maksud dari hadits Abu Daud di atas. Yaitu membangkitkan optimisme dalam jiwa kaum muslimin, bahwa agamanya tidak akan pernah mati. Bahwa dalam setiap masa tertentu Allah akan mengutus orang untuk mentajdid agamaNya dan menghidupkan syari’atNya. Itu adalah sunnatullah.  Yang mana, makna membangkitkan bukan berarti menurunkan mujaddid dari langit, atau ia lahir begitu saja tanpa sebab-sebab yang melingkupinya mencapai derajat mujadid itu. Maknanyaadalah menyiapkan langkah dan strategi yang harus ditempuh, memunculkan kondisi yang tepat dan menciptakan iklim yang kondusif demi lahirnya harakatut tajdid sesuai dengan sunnah Allah.Maka pertanyaan bagi setiap muslim adalah “apa peranku dalam harakah tajdid?” bukannya “kapan mujaddid itu tiba?”


Wahyu Bhekti Prasojo
Dosen STAI Al Qudwah



Daftar Pustaka
  • Al Asqolany, Ibnu Hajar, 1379, Fathul Baary Syarhu Shahih al Bukhary, Beyrut;Darul Ma’rifah,
  • Esposito, John L., 1990. Islam Dan Politik. Jakarta; Bulan Bintang.
  • Fealy, Greg dan Anthony Bubalo, 2007, Jejak Kafilah, Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia, Badung; Mizan.
  • Hamka, 1997, Sejarah Umat Islam, Singapura; Pustaka Nasional.
  • Khaldun, Ibnu, 2001, Muqaddimah, alih bahasa Ahmadi Toha, Jakarta;Pustaka Firdaus.
  • Madjid, Nurcholis, 2013, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung; Mizan.
  • Mahendra,Yusril Ihza, 2016, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, Jakarta; Prodeleader.
  • Mortimer, Edward, 1984, Islam dan kekuasaan, alih bahasa Enna Hady & Rohmani Astuti, Bandung;Mizan
  • Al Qaradhawy, Yusuf,1997, Membangun Masyarakat Baru, alih bahasa Rusydi Helmi, Jakarta; Gema Insani Press.
  • ____________,2002, Fiqhul Ikhtilaf Antara Perbedaan yang Dibolehkan dan Perpecahan yang Dilarang, alih bahasa Aunur Rafiq Saleh Tamhid, Jakarta; Robbani Press
  • Sadali, Ahmad, pengantar edisi bahasa Indnesia buku Islam Militan, 1980, Bandung; Pustaka.
  • Asy Sajisytany,Abu Daud Sulayman bin al Asy’ats bin Ishaq bin Basyir bin Syadad bin Amru al Azdy, tt,Sunan Abu Daud,Beyrut;Al Maktabah al ‘Ashriyah.
  • Al Wakil,Muhammad Sayyid, 1999. Wajah Dunia Islam Dari Dinasti Bani Ummayyah Hingga Imperialisme Modern. terjemahan. Jakarta: Pustaka Al Kautsar.