Tak hanya sebagai sesuatu yang digunakan menutupi tubuh dan melindungi kehormatan. Pakaian adalah objek yang terkait begitu erat dengan kepribadian seseorang. Penelusuran terhadap pendapat para penafsir al-Qur’an tentang penggunaan kata pakaian dalam al-Qur’an menunjukkan makna lahiriyah maupun batiniyah.
Setiap orang merajut niat, fikiran, kata dan tindakan, membentuk selembar pakaian bagi jiwanya. Maka adakah yang lebih baik dari pakaian takwa?
Mereka (istri) adalah pakaian bagi kalian (suami), dan kalian adalah pakaian bagi mereka.
Penggalan ayat ini merupakan ungkapan yang indah tentang kedalaman hubungan wanita dan pria dalam ikatan pernikahan yang jauh dari manifestasi rendah dan parsial. Hubungan integratif, saling melengkapi, menutupi aib dan memberikan perlindungan sebagaimana adanya pakaian.
Muqatil ibn Sulaiman, Penafsir abad ke 2 hijriah ini mengemukakan gagasan tentang istri yang merengkuh suami sepenuh hidupnya, demikian pula sebaliknya. Menunjukkan keindahan makna harmoni dari dua jiwa yang berbeda.
Tak pelak lagi az-Zajjaj, mufasir yang wafat pada 311 hijriah, menganalogikan hubungan itu sebagai kelekatan dalam ikatan pakaian. Pendapat yang juga diamini oleh Makki ibn Abi Thalib ini menunjukkan suatu metafora yang baik tentang hubungan keduanya yang tiada sekat dan bukan formalitas. Masing-masing mereferensikan kebaikan dan penerimaan bagi pasangannya.
Pensyari’atan istri dan suami sebagai pakaian bagi pasangannya, adalah bukti kasih sayang Allah kepada manusia. Setelah itu Allah menuntut dari mereka berdua untuk menghindar dari berbagai keburukan eksternal dengan senantiasa memperkuat hubungan mereka, demikian syaikh Mutawalli asy Sya’rawi.
Penggunaan ungkapan ini, juga menunjukkan adanya hubungan sensorik, fisik, emosional dan spiritual yang membangun moral korelatif antara keduanya.Bukankah pernikahan itu benteng yang menjamin penghuninya berada dalam keselamatan, ujar Raghib al asfihani, satu dan lainnya saling menutupi keburukan.
Abu Laits as Samarqandi, penulis tafsir Bahrul ‘ulum, bahkan mengungkapkan gagasan yang cukup tegas tentang keberadaan istri sebagai pelindung suami dari api neraka demikian pula sebaliknya.
Mufassir kontemporer, al-Hijazy menuturkan, penggalan ayat ini merupakan kerangka bagi keluarga yang kokoh, merupakan wujud rasa saling mengasihi yang mendalam, bukan sekedar hubungan fisik semata, melainkan penyatuan ruhiyah, keterikatan jiwa, dan menghimpun tujuan yang satu untuk membina kehidupan keluarga atas prinsip-prinsip kemuliaan.
Penggalan sebuah ayat al-Qur’an ini merangkum kata dengan berbagai makna yang mendalam, mewariskan pemahaman yang idealistis dan romantis tentang hubungan seharusnya antara wanita dan pria dalam ikatan pernikahan.
Memberikan pendekatan bagi kebahagiaan dunia dan akhirat yang melibatkan pemahaman dan komitmen keagamaan.
Hasbunallah wa ni’mal wakil
Sigit Suhandoyo
Dosen STAI al-Qudwah Depok